Kaidan
Kaidan yang berasal dari Bahasa Jepang terbagi menjadi dua kanji dasar yaitu kanji ++ : kai yang berarti aneh, misterius, jarang dan kanji pembentuk kedua ++ : dan yang berarti bicara atau bisa juga penceritaan naratif. Secara harfiah apabila digabungkan menjadi pembicaraan / penceritaan mengenai sesuatu yang aneh bahkan misterius. Dalam dunia perfilman kaidan mengacu pada cerita horor dan hantu. Pemaknaan ini mengacu kepada konotasi cerita horor rakyat yang dibawa dari Zaman Edo.
Kata kaidan akhir-akhir ini tidak lagi digunakan pada film bergenre horor Jepang zaman modern. Tetapi malah disebut dengan sebutan horaa (++) yang diambil dari kata horor dalam Bahasa Inggris. Ada juga yang menyebut dengan sebutan kowai hanashi (++) yang berarti cerita seram. Kata kaidan ini hanya muncul pada film horor dengan latar belakang klasik (lebih pas dengan kata old-fashioned menurut saya) yang ingin digambarkan oleh direktor maupun penulis.
Alur Cerita / Plot
Alur cerita dalam kaidan biasanya berdasarkan cerita yang berkaitan dengan agama Budha. Kaidan seringkali muncul sebagai bagian dari karma atau kutukan yang menimpa dirinya sehingga menimbulkan pembalasan dendam yang dilakukan oleh hantu / roh tersebut, bahkan bisa juga hantu / roh yang tidak puas akan kejadian yang menimpa dirinya. Di Jepang hantu yang ingin membalas dendam ini mempunyai kekuatan yang lebih hebat setelah mati dibandingkan dengan sosoknya yang masih dalam keadaan bernyawa.
Hantu ini seringkali muncul dari manusia yang pada masa hidupnya merasa tertindas dan lemah seperti kaum wanita dan budak yang teraniaya. Keinginan balas dendam ini biasanya ditujukan kepada orang yang dulunya menganiaya dan menyakiti hantu / sosok yang merasa tidak puas. Tetapi kadang-kadang hantu / sosok yang merasa tidak puas ini bisa juga pembalasan dendamnya tidak ditujukan ke satu target bahkan ke seluruh manusia yang muncul dari rasa bencinya terhadap tipikal perbuatan manusia pada umumnya (nah!).
Contohnya dapat dilihat dalam salah satu judul dalam buku kisah-kisah kaidan yang diluncurkan oleh Lafcadio Hearn yang berjudul Furisode. Cerita ini mengisahkan tentang kimono yang terkena kutukan dan tentunya bagi siapapun yang memakainya akan meninggal ketika memakainya. Kutukan ini tidak ditujukan bagi satu orang tapi bagi siapapun yang memakainya.
Cerita kaidan itu biasanya diawali oleh kemunculan hantu / roh melalui air sebagai medianya. Dalam kepercayaan masyarakat Jepang, air merupakan suatu jalan yang menghubungkan antara dunia roh dan dunia nyata. Contohnya dapat dilihat dalam festival obon pada Bulan Agustus yang mengantar kepergian roh leluhur melalui air (sungai) sebagai medianya.
Hyakumonogatari Kaidankai dan Kaidanshu
Kata kaidan muncul sejak Zaman Edo ketika permainan yang dinamakan Hyakumonogatari Kaidankai menjadi popular. Permainan mengumpulkan cerita rakyat dan cerita hantu dari seluruh Jepang dan Cina ini menjadi peranan yang sangat penting dan disukai.
Popularitas mengumpulkan cerita-cerita ini menjadi sebaik keputusan oleh usaha penerbitan dan pencetakan dari Korea pada tahun 1593, yang mendasari terbentuknya suatu kumpulan buku kaidan yang disebut kaidanshu.
Nukekubi
Adalah makhluk yang ditemukan dalam cerita rakyat di Jepang. Pada siang hari ketika manusia melakukan aktivitas seperti biasanya, nukekubi muncul seperti layaknya manusia biasa. Tetapi ketika malam hari tiba, bagian kepalanya perlahan-lahan bergerak dan terlepas dari tubuhnya. Lebih dari itu kepala yang terputus ini mempunyai kekuatan terbang ke mana saja. Kepala putus ini terbang mencari mangsa yaitu manusia yang sedang berdoa.
Ketika ia menemukan mangsanya ia akan mendekat dan muncul dalam jarak pandang manusia. Ketika mangsanya itu melihat ia akan berteriak (lebih cocok dibilang screaming sepertinya, karena tidak ada padanan antara berteriak atau mengeluarkan suara kaget plus ketakutan setengah mati) yang menimbulkan tingkat ketakutannya melampaui batas normal. Kemudian ia mendekat dan langsung menggigit korbannya secara cepat sehingga sang korban akan mati ketakutan ditambah gigitan yang mematikan (wihh!!!).
Namun makhluk ini mempunyai kelemahan seperti juga halnya makhluk yang muncul dalam legenda dan cerita rakyat lainnya. Kelemahannya yaitu ketika kepalanya melayang entah kemana bagian tubuh yang ditinggalkannya itu tidak mempunyai kekuatan sama sekali, sama sekali. Bisa diibaratkan sebagai benda yang berwujud tubuh manusia lengkap dengan organ tubuh lainnya yang terbalut warna kulit hidup, pucat keputih-putihan namun tanpa kepala. Satu-satunya cara adalah dengan memindahkan tubuh keputih-putihan tanpa kepala tersebut dari lokasi / tempat terpisahnya tubuh dengan kepala terputus sang makhluk itu. (he’eh makasih deh…baru ngeliat tubuh tanpa kepala aja sudah ketakutan setengah mati, apalagi disuruh mindahin mayatnya. Iya kalo itu kepala ”maennya” lama nah kalo langsung pulang terus ngeliat saya mindahin badannya dia bisa-bisa saya yang jadi mayat…XD).
Jika sang makhluk tidak dapat dapat menemukan lokasi disembunyikan tubuhnya hingga matahari terbit maka kekuatannya akan hilang dan makhluk itu pun musnah. Ada juga cara lainnya yaitu dengan menghancurkan tubuh makhluk itu hingga tidak tersisa sama sekali. Sehingga kepala itu bagaikan tubuh tanpa tulang punggung, lemah dan tak tertopang.
Dalam kehidupan sehari-hari Nukekubi mencoba berbaur dengan kehidupan masyarakat. Mereka kadang-kadang tinggal bersama kelompoknya seperti layaknya sebuah keluarga biasa. Satu-satunya cara mengidentifikasi makhluk ini yaitu dengan cara melihat lehernya yang terdapat tanda garis merah mendatar mengelilingi lehernya. Bukan seperti luka namun benar-benar seperti garis merah yang membujur di lehernya. Tapi kadang-kadang tanda kecil ini disamarkan dengan menggunakan kalung dan perhiasan lainnya.
Simpulan
Makhluk yang digambarkan di atas seperti ini juga muncul dalam cerita rakyat di Indonesia. Bahkan ciri-ciri fisikal, kekuatan, dan kelemahan yang dimiliki juga sama persis. Di Indonesia makhluk seperti itu dinamakan palasik yang muncul di wilayah Sumatera (tepatnya saya tidak tahu). Kehidupannya juga sama seperti yang digambarkan.
Dalam kisah ini saya menemukan keistimewaan yang memiliki ciri-ciri sama antara nukekubi yang ada di Jepang dan palasik Indonesia. Entah kenapa makhluk yang digambarkan ini mempunyai banyak kemiripan tetapi terpisah dalam jarak yang jauh. Dalam pendapat saya, cerita ini muncul mungkin karena pada zaman dahulu ketika manusia yang satu dengan yang lain terjadi pertikaian yang menyebabkan seseorang terbunuh dengan kepala terpenggal. Oleh karena itu cerita ini dihadirkan karena terdapat kepercayaan manusia yang telah meninggal itu rohnya akan bergentayangan (bisa juga kata roh ini diganti dengan makhluk, tergantung siapa yang menciptakan cerita itu) dan akan menuntut balas dendam atas kematiannya.
Di Jepang, dahulu terdapat aturan bahwa di dalam peperangan apabila lawan perangnya telah kalah dan mati maka harus membawa kepala untuk diserahkan kepada pemimpin sebagai buktinya. Begitu juga yang terjadi di masyarakat mungkin saja ketika sesorang melakukan pembunuhan maka sang pembunuh akan memenggal kepala korban agar identitas korban tidak diketahui.
Di Indonesia (lagi-lagi) mungkin saja ketika zaman penjajahan dahulu ketika kedua belah yang bertikai juga pernah memotong kepala atau juga terjadi pembunuhan sehingga kisah manusia yang meninggal tanpa kepala ini merebak ke rakyat dan menjadi kisah rakyat.
Tentunya terdapat persamaan pemikiran antara rakyat Jepang dan rakyat Indonesia (dan kebanyakan bangsa di Asia) yaitu pembalasan dendam yang dilakukan oleh roh orang yang telah meninggal baik itu secara wajar maupun tak wajar karena merasa tidak terima dan ketidak mampuan mereka ketika masih hidup seperti golongan wanita dan budak itu ada dan pada akhirnya rakyat membuat cerita itu dan menghadirkannya ke masyarakat. Dan pada dasarnya mereka juga percaya bahwa manusia itu mempunyai roh dan ia akan terlepas ketika manusia sudah tak lagi bernyawa.
Minggu, 06 Januari 2008
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar