Pendahuluan
Nakamata Akio yang mengemukakan Teori Sastra Kyokusei dalam buku Westway to the World nya merupakan seorang mahasiswa lulusan Fakultas Ekonomi, Universitas Waseda. Ia lahir di Tokyo tahun 1964 dan banyak melahirkan karyanya di sana. Walaupun ia seorang mahasiswa Fakultas Ekonomi namun ia aktif mengulas beberapa wacana yang berhubungan dengan kebudayaan dan kesusateraan khususnya post-modernisme.
Karya-karya yang dihasilkan antara lain ++yang sama sekali tak ada kaitannya dengan background pendidikannya.
Makna Barat dan Timur dilihat dari sudut geografis merupakan makna yang tidak mengacu dan berporos. Dunia ini berbentuk bulat jadi apabila kita berdiri di suatu tempat tidak bisa dijadikan poros yang mengacu pada “Barat” ataupun “Timur” itu sendiri. Dengan kata lain yang memberi konsep yaitu kita sebagai subjek bukan tempat itu yang dijadikan subjek. Sekali lagi dititik beratkan kepada konsep dunia itu yang berbentuk bulat jadi tidak ada poros Barat maupun Timur untuk dijadikan poros berpikir.
Makan Barat dan Timur dari sudut peta dunia kuna membagi dunia ini menjadi dua belahan bumi yaitu Barat sebagai wilayah occidental dan Timur sebagai wilayah oriental. Orient berasal dari Bahasa Latin yang berarti daerah terbit matahari. Istilah ini digunakan oleh orang Barat untuk menunjukkan bagian wilayah Timur (kalau posisinya di lihat dari Eropa). Wilayah Timur orient itu tentu saja mengacu pada Negara Asia Timur yaitu Cina dan Jepang karena kedua Negara ini berada di posisi Timur Eropa. Kedua negara ini juga sering disebut Negara oriental karena pemaknaan dari konsep yang tercipta ini.
Pandangan tentang orientalisme menurut Edward Said muncul pada tahun 1978. Edward Said yang berkewarganegaraan Afrika ini mengemukakan bahwa wacana orient ini dibuat oleh peneliti Barat-Amerika dan Eropa mengenai masyarakat, budaya, bahasa, dari Negara wilayah Timur yang terbentuk sejak masa imperialisme ( penjajahan ) Eropa abad ke-18 dan ke-19. Wacana ini digunakan untuk mendominasi dan menguasai negara-negara yang berada di wilayah Timur ( target wilayah jajahan mereka ).
Pembahasan
Dalam buku Nakamata Akio dijelaskan beberapa Konsep Kyokusei yang di jabarkan dalam bab di dalam tubuh wacana buku Westway to The World. Konsep dalam buku Westway to The World secara keseluruhan dan mendetail ini tidak dijelaskan per bagian dalam mata perkuliahan karena mungkin akan memakan waktu untuk menjelaskannya. Namun konsep Kyokusei Nakamata Akio secara garis besar akan dijabarkan di bawah ini.
Konsep yang pertama shisen atau disebut juga dengan sudut pandang yaitu sudut pandang atau titik pandang yang digunakan oleh pengarang terhadap tokoh-tokoh dalam karyanya. Sudut pandang pengarang ini dibagi tiga yaitu posisi diri aktual, posisi diri tak nampak, dan posisi diri dan sekitar.
Konsep posisi diri aktual yaitu keberadaan diri tokoh yang dilihat secara aktual ; tempat ia (tokoh) berada. Posisi diri aktual dibagi menjadi tiga yaitu vertikal, horizontal dan diagonal.
Posisi diri vertikal yaitu konsep dimana keberadaan diri tokoh secara aktual melihat ke ruang lingkup yang berada di luar ruang diri tokoh.
Posisi diri horizontal yaitu konsep dimana ruang lingkup yang berada di luar ruang diri tokoh yang menjadi tujuan terhadap tokoh.
Posisi diri diagonal yaitu konsep dimana diri tokoh (satu titik) melihat ke dua lingkup (dua titik) ruang diri yang saling mempunyai interpretasi masing-masing terhadap kediriannya. Diri tokoh sebagai pelaku menginterpretasikan sendiri kedirian objek lain dalam sudut pandangnya secara bersamaan dan pada saat itu.
Posisi diri tak nampak yaitu suatu teori dimana keberadaan diri tokoh yang tidak dilihat secara aktual, tersembunyi dalam pikiran dan perasaan yang timbul karena imajinasi yang diciptakan oleh dirinya sendiri. Contohnya bisa dilihat dalam ketakutan yang dialami tokoh terhadap keadaan sekitar maupun segala sesuatu yang membuat keadaan itu muncul. Sudut pandang digambarkan seolah-olah tokoh bergelut dengan pikirannya sendiri, suatu pikiran yang tak aktual, tak nampak tapi seperti nampak terjadi. Sehingga perasaan tokoh yang berkecamuk, nampak dan terbayang bahkan lebih hebat lagi bisa dirasakan pembaca seolah-olah ikut merasakan apa yang terjadi.
Posisi diri dan sekitar yaitu suatu teori dimana keberadaan diri tokoh sebagai cerminan pengarang dihubungan dengan lingkungan sekitarnya (diri-orang lain). Sudut pandang posisi diri dan sekitar dibagi tiga yaitu: melihat (++) dan dilihat (++) dan tidak di mana pun (++).
Teori melihat (++), pengarang membuat sudut pandang tokoh dimana tokoh melihat keadaan sekitar dari sudut pandangnya sendiri. Tokoh menilai, menghubungkan, bahkan bisa menginterpretasikan aktualisasi diri terhadap keadaan sekitar.
Teori dilihat (++) sendiri merupakan kebalikannya dimana tokoh dilihat oleh keadaan sekitar. Secara kebalikannya keadaan sekitar lah yang menilai, menghubungkan, bahkan menginterpretasikan tokoh.
Dan teori yang ketiga yaitu tidak di mana pun (++) yaitu keberadaan diri tokoh sebagai cerminan pengarang tidak dihubungkan dengan lingkungan sekitarnya maupun keberadaan diri tokoh namun seolah-olah tidak berhubungan dengan tokoh lain. Eksistensi tokoh berada di dalam zona abu-abu, di mana keberadaan tokoh ada namun gambaran tokoh tidak berada di dalamnya.
Simpulan
Teori Sastra Kyokusei yang dikemukakan Nakamata Akio melalui buku Westway to The World menitik beratkan pada sudut pandang (shisen) yang kemudian muncul pada karya sastra era 90-an zaman Haruki Murakami dan setelahnya.
Pengarang menggunakan shisen yang pada penggunaan sebelumnya belum mampu ditembus oleh pengarang sebelum Zaman Haruki Murakami. Dalam kebanyakan karya dengan menggunakan shisen, narrator adalah seorang yang berada di luar cerita yang menampilkan tokoh-tokoh cerita dengan menyebut nama atau kata gantinya dengan kata lain narrator menggunakan teknik sudut pandang persona ketiga “dia”.
Dalam kumpulan cerita pendek Haruki Murakami, Zoo no Shometsu (The Elephant Vanishes) yang terbit pada tahun 1985 terdapat satu judul yang dijadikan bahasan dalam Mata Kuliah Kritik Sastra yaitu Naya wo Yaku (Burning Barn). Narrator banyak menggunakan kata ganti boku, kare.kanojyou, sebagai tokoh dalam cerita. Narrator juga menempatkan dirinya sebagai “aku” yang mengisahkan berbagai peristiwa dan tingkah laku yang dialaminya, first-person central. Namun tiba-tiba ia bisa melompat ke “dia” mahatahu, sudut pandang persona ketiga, narrator bebas bergerak dan berpindah-pindah menceritakan dari tokoh “dia” yang satu ke “dia” yang lain.
Dalam Teori Sastra Kyokusei tokoh “aku” yang menjadi first-person central mengacu pada mirugawa yang sifat kedirian tokoh sebagai cerminan pengarang dihubungkan dengan lingkungan sekitar. Pengarang dapat mengisahkan berbagai peristiwa dan tingkah laku yang dialaminya baik bersifat batiniah maupun fisik serta hubungannya dengan sesuatu yang diluar dirinya. Dalam novel muncul dalam interaksi fisik langsung dan percakapan yang terjadi antara ++boku++ dan ++kare++ sebagai konsep++mirugawa++.
Pemakaian Teori Posisi Diri Aktual khususnya horizontal banyak digunakan oleh narrator. ++boku++ menginterpretasikan sifat, kepribadian, sense, kebiasaan bahkan mengukur taraf golongan berada maupun tak berada hanya dengan interpretasi kedirian tokoh. Ia menilai dari apa yang dikenakan, cara berpakaian, cara berbicara, barang-barang yang dimiliki sehingga berhasil mengategorisasikan dan menilai orang lain (++kare).
Dengan kata lain karya-karya modern era 90-an memang karya yang banyak menggunakan sudut pandang yang sebelumnya belum pernah ditembus secara spesifik dan mendalam bahkan kompleks seperti ini. Kompleks disini dalam artian narrator berhasil menempatkan dirinya dalam tokoh yang mempunyai sudut pandang sendiri, bisa dari satu acteurs yang melakukan beberapa actans maupun beberapa actans dengan satu acteurs.
Minggu, 06 Januari 2008
Naya wo Yaku : Haruki Murakami
Pendahuluan
Biografi Penulis
Murakami Haruki lahir di Kyoto pada 13 Januari 1949 tetapi banyak menghabiskan masa kecilnya di Kobe. Sejak kecil Murakami sangat menggemari dan menyukai karya sastra Barat, terutama musik dan karya sastranya. Ia tumbuh dengan banyak membaca karya besar dari Kurt Vonnegut dan Richard Bautigan dan ia juga sering kali membeda-bedakan (mengomparasi) antara penulis Jepang dengan penulis Barat yang ia gemari. Kesusasteraan Jepang banyak menaruh tekanan pada bahasa yang indah, dimana dengan gaya bahasa itu akan menghasilkan kekakuan, komposisi yang dibatasi, sedangkan gaya Murakami sendiri relatif bebas, cair dan mengalir.
Murakami kuliah di Universitas Waseda, Tokyo mengambil jurusan Teater di Fakultas Seni. Di mana ia juga bertemu wanita yang kini menjadi istrinya, Yoko. Ia pertama kali bekerja di toko musik seperti yang digambarkan pada tokoh dalam karakter utama dalam Norwegian Wood, Toru Watanabe. Sebelum Murakami menyelesaikan studinya ia membuka sebuah bar dengan nuansa jazz bernama “Petercat” di Kokubunji, Tokyo yang ia jalankan dari tahun 1974 sampai tahun 1982.
Banyak dari karyanya kental dengan unsur musikal dan judul lagunya juga banyak yang muncul sebagai judul tulisannya. Seperti Dance, dance, dance (Steve Miller Band), Norwegian Wood (The Beatles), South of the Border, West of the Sun (Nat King Cole) yang kemudian menjadi judul dalam karyanya.
Karya fiksi Murakami, yang sering dikritik sebagai karya sastra pop oleh penerbit Jepang, sangat surealis dicampur sedikit bumbu humor, dan pada saat yang bersamaan menggambarkan nilai esensial, pelenggangan, kesendirian dan cinta yang semu dimana karyanya itu berhasil menyentuh pembaca di Amerika dan Eropa, begitu juga dengan Asia. Pada dasarnya, gaya penulisan Murakami sering kali dikritisi karena karyanya melukiskan obsesi Negara Jepang yang kapitalis. Berdasarkan karyanya ia juga dapat menangkap jiwa generasi muda yang semu dan hampa. Ia juga bisa menggali efek negatif mentalitas orang-orang yang terlalu didominasi oleh pekerjaan. Karyanya mengeritik dan membahas penurunan nilai manusia dan hilangnya hubungan antara manusia dengan manusia dalam masyarakat kapitalis Jepang.
Analisis
Ciri Khas Tulisan Murakami Haruki
納屋を焼く (Burning Barn) merupakan salah satu judul cerita pendek dalam kumpulan cerita pendek Haruki Murakami berjudul 像を生滅 (The Elephant Vanishes) yang terbit tahun 1985. 納屋を焼く menceritakan tentang kehidupan僕 yang kemudian diisi oleh kehadiran彼女 sebagai teman dekatnya dan terasa lebih komplek lagi dengan hadirnya彼 sebagai pacarnya彼女. Plot cerita bertambah menarik karena彼 ini mempunyai sifat kedirian yang aneh dan cara berpikir yang tidak normal namun bisa dikatakan relevan dan bersifat realitas. Ia mempunyai pandangan tersendiri, suatu pandangan yang tidak bisa ditemukan pada orang biasa, pandangan yang digambarkan pengarang dengan penyimbolan terhadap sesuatu, metafora.
Murakami Haruki hadir dengan karyanya yang kental dan khas dengan unsur metafora, simbolis. Sehingga pembaca akan mereka-reka dan mencoba menginterpretasikan apa yang ingin disampaikan oleh penulis. Tentunya pembaca yang ingin tahu pemaknaannya ini akan membaca karyanya sampai habis karena pastinya pembaca takkan bisa memaknai apabila apa yang ingin dijelaskan penulis sebelum dibacanya sampai tuntas.
Metafora dalam納屋を焼く terdapat dalam kemunculan tokoh Great Gatsby, novel karangan Francis Scott Key Fitzgerald yang terbit pada tahun 1925. Cuplikan tersebut dapat dilihat pada halaman 58.
Maru de Gatsby da ne…
“ seperti Gatsby ya…”
僕 menyimbolkan彼 dengan tokoh Great Gatsby. Dalam novel tersebut Gatsby adalah orang kaya yang berselera tinggi dengan barang mewah dan segala pembawaan dirinya. 彼
yang digambarkan sebagai sosok yang berselera tinggi, mempunyai ciri khas, tingkah laku/pembawaan yang kelihatan berkelas, ditambah lagi dengan barang pribadi, cara berpakaian dan mobil sport yang menggambarkan bahwa ia seorang yang kaya raya dengah kehidupan glamour. Begitu pertama kali彼女 bercerita tentang彼, 僕 langsung membayangkan pencitraan diri彼 ke tokoh Gatsby ini.
Ciri khas lainnya terdapat pada gaya tulisan terjemahan yang dipengaruhi oleh sastra Barat. Hal ini disebabkan karena Murakami seringkali menerjemahkan karya sastra Barat ke dalam Bahasa Jepang. Contohnya dapat dilihat pada penggunaan dan penamaaan kataボイ・フレンド(Boyfriend) danガール・フレンド(Girlfriend) yang digunakan oleh Murakami dan kebanyakan masyarakat Jepang. Pemaknaannya berbeda dengan sebutan彼女 ataupun dengan hubungan yang lebih dekat恋人. Pemaknaan彼女berbeda artinya dengan girlfriend dengan pemaknaan Barat (benar-benar sangat berbeda).
Dalam makna Barat girlfriend diartikan sebagai pacar dengan artian wanita/laki-laki yang memiliki hubungan dekat secara langsung dan intim. Namun, dalam pemaknaan masyarakat Jepang, ガール・フレンドdisini sangat berbeda artinya yaitu diartikan sebagai teman yang memiliki hubungan dekat namun tidak dekat secara intim. Makna girlfriend dalam pemaknaan Barat lebih cocok dengan kata恋人 dalam Bahasa Jepang.
Dalam halaman 57 baris ke 5 terdapat percakapan antara僕 dan彼 yaitu:
「お会いできて嬉しかったです」と彼は僕に向かって申しわけなさそうに言った。
「こちらこそ」と僕も言った。
“senang sekali bertemu lagi dengan anda”, ucap Dia dengan nada yang kelihatan tulus ke arahku.
“sama sama”, sahutku.
Penggunaan こちらこそ oleh 僕 dipengaruhi oleh gaya sastra Barat yang selalu mengucapkan “you’re welcome” atau “terima kasih kembali” setelah lawan bicara mengucapkan terima kasih dengan rasa tulus. Dalam masyarakat Jepang pada umumnya bagi orang yang sudah merasa dekat atau kepada orang dekat dengan pengucapan seperti itu maka akan dirasakan kaku seperti serasa ada batas diantara keduanya. Biasanya kalau berhubungan dekat dengan menggunakan kata はい (ya) atau ああ、僕も (ya, saya juga).
Dalam novel ini juga banyak digunakan nama masakan yang dirasakan sangat mewah dan kebarat-baratan apabila diukur pada masa itu. Contohnya dapat dilihat pada halaman 60, nama beberapa makanan mewah yang muncul yaitu:
ロースト・ビープ・サンドウィッチ Roast Beef Sandwich
サラダ・スモーク・サーモン Smoke Salmon and Salad
ブルーベリー・アイスクリム Blueberry Ice Cream
良い白ワイン White Wine
( in good taste and good quality brand)
Dengan memunculkan nama makanan mewah pada novel ini dan jika dibandingkan pada masa itu terasa sekali ciri khas tulisan Murakami yang kemewahan dan ala Baratnya. Biasanya orang yang mengonsumsi makanan seperti itu berada pada golongan yang lebih tinggi dan condong kepada orang yang berada.
Dalam cerpen ini juga muncul judul lagu dan musisi era 70-an dan 80-an yang sangat khas ala Murakami. Seperti kemunculan Nat King Cole, Fred Astea, Bing Crosby, dan juga beberapa lagu instrumen seperti serenade alat musik gesek, Chekovsky.
Tema dalam Novel納屋を焼く(Burning Barn)
Ciri khas Murakami dalam karyanya yaitu mengetengahkan tema yang universal kepada khalayak pembaca yang menurutnya tidak terbatas. Dalam artian tema yang dihadirkan tidak hanya terpaku dan terdapat pada lingkup masyarakat Jepang saja tetapi tema yang banyak terjadi di seluruh Dunia pada umumnya. Sehingga karya yang dihasilkan bisa dinikmati bukan oleh segelintir orang tapi oleh seluruh orang. Ciri khas ini sama dengan ciri khas sastra Barat yang juga mengetengahkan tema bersifat universal dan umum.
Tema dalam novel ini yaitu tentang kehidupan keseharian manusia pada umumnya yang disertai kejadian dan permasalahan yang realitas. Dalam novel ini, yaitu kehidupan yang dijalani oleh僕 sebagai tokoh utama. Kehidupan ini kemudian diwarnai oleh kedatangan tokoh彼女 yang memberikan warna tersendiri. Setelah itu datang pula tokoh彼
(kekasih彼女) yang berkepribadian komplek yang membuat kehidupan僕 makin ramai oleh warna.
Makna Naya wo Yaku dalam novel「納屋を焼く」Murakami Haruki
Kata納屋terbentuk dari dua kanji yaitu kanji 納 (ナ、ノ、ト、おさめる) berarti memanen, memasok, menyimpan dan kanji 屋 (や) berarti tempat. Kata Yaku sendiri merupakan sebuah kata kerja yaitu membakar. Ditambah partikel を sebagai penunjuk objek. Secara keseluruhan, dapat diartikan sebagai (melakukan) membakar bangsal/gudang/lumbung. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) padanan kata gudang ini yaitu kata benda, rumah atau bangsal tempat menyimpan barang.
Namun menurut saya, 納屋disini bukan mengacu kepada gudang atau bangsal tempat penyimpanan pada umumnya. Gudang disini mengacu kepada tempat yang berada dalam diri manusia itu sendiri. Tentunya dalam diri manusia itu ada tempat yang dijadikan tempat untuk menyimpan kenangan masa lalu, pengalaman, tempat tersimpan rapi kejadian pahit manisnya kehidupan. Juga tempat yang membutuhkan pasokan akan cinta; kasih sayang, bahkan kesedihan.
Diibaratkan dengan sebuah gudang, hal ini mungkin disebabkan oleh sifat alami dari kata gudang tersebut yang kemudian dijadikan simbol oleh Murakami sebagai suatu tempat yang dijadikan untuk menyimpan dan memasok barang ataupun sesuatu. Barang disini diartikan sebagai “kejadian” yang telah dialami subjek itu sendiri.
焼く(yaku) sendiri merupakan kata kerja yang berarti membakar. Dalam konteks membakar disini bukan mengacu kepada kegiatan membakar secara normal tetapi menghapus, menghilangkan kejadian yang dirasakan menjadi pengganjal, membuat merasa tidak nyaman dan merasa risih.
Dalam novel dapat dilihat ketika tokoh utama 僕 bercakap-cakap dengan 彼 di dalam rumahnya bersama 彼女 yang sudah tertidur pulas. Ketika 僕 sedang teringat tentang festival kesenian dan pementasan ketika Sekolah Dasar dahulu, ketika ia pada waktu itu mendapat peran Penjual Sarung Tangan, peran yang Antagonis. Dalam cerita itu terdapat kejadian ketika datang seekor anak rubah yang mau membeli sarung tangan untuk ibunya, namun ditolak karena uang yang dibawa benar-benar tidak mencukupi. Padahal ironisnya, ibunya yang tengah kedinginan tengah sekarat dan sangat membutuhkan sarung tangan tersebut. Dengan ucapan dingin penjual sarung tangan menolak untuk memberikannya.
Terdapat dalam kutipan pada halaman 63 yaitu:
・・・
「でもお母さんがすごく寒かってるんです。あかぎれもできてるんです」と子狐は言う。
「いや、駄目だね。お金をためて出なおしておいで。そうすれば
「時々納屋を焼くんです」
と彼が言った。
Ketika 僕 sedang memikirkan perannya yang antagonis yang tak bisa ia lupakan. Peran yang 僕 perankan benar-benar membuat bekas yang tersimpan dan sulit dihilangkan dalam dirinya. Tepat ketika ia sampai pada puncak lamunannya 彼 mengucapkan satu kalimat yang sebenarnya kunci dalam pemaknaan metafora yang dibuat oleh Murakami. Kata itu sebenarnya jawaban untuk 僕 namun karena 僕 tidak sadar dan berada dalam dokodemonai basho ini ia tidak mendengar dengan jelas akan perkataan 彼.
Simpulan
Karya Murakami yang sarat dengan ciri khas dalam karyanya kali ini mengetengahkan tema yang lagi-lagi bisa dibilang sangat universal. Kisah yang menceritakan tentang kehidupan yang dijalani 僕 yang diwarnai oleh tokoh lain yang memberi warna sehingga plot cerita dirasakan alami seperti dalam kehidupan sehari-hari. Mengalir dan bebas seperti karya Murakami terdahulu.
Penggunaan judul lagu dan musisi era 70-an dan 80-an yang muncul dalam novel seperti ini juga muncul dalam karya Scott Key Fitzgerald dalam era “Jazz Age” yang mencirikan penggunaan musik dan musisi jazz sebagai pencitraan dan ciri khas terhadap karya yang disampaikan kepada pembaca.
Penggunaan unsur metafora juga digunakan dalam novel ini, terasa sangat menyatu dan melekat maknanya dengan plot dan tema yang dibentuk oleh penulis. Menurut saya, judul 納屋を焼く itu merupakan simbol yang diberikan dan ingin disampaikan kepada pembaca. Penyimbolan ini akan membuat para pembaca merasa penasaran akan makna dalam novel ini dan secara tidak langsung pembaca akan membaca secara habis apabila ingin memaknai apa yang ingin disampaikan. Namun, akhir novel yang dibuat menggantung ala Murakami ini membuat pembaca memikirkan dan menilai sendiri apa sebenarnya yang ingin diceritakan oleh penulis. Pembaca dipaksa untuk menelaah langsung apa sebenarnya yang ada dalam pikiran Murakami, sangat hebat.
Daftar Pustaka
Kamus Besar Bahasa Indonesia edisi ketiga cetakan kedua. 2002. Balai Pustaka : Jakarta.
http://en.wikipedia.org/wiki/Haruki_murakami
http://en.wikipedia.org/wiki/F.Scott_fitzgerald
Teks Handout 納屋を焼(Naya wo Yaku : Burning Barn) dalam kumpulan cerpen Murakami Haruki berjudul 像を生滅 (Zoo wo Shometsu ; The Elephant Vanishes).
Biografi Penulis
Murakami Haruki lahir di Kyoto pada 13 Januari 1949 tetapi banyak menghabiskan masa kecilnya di Kobe. Sejak kecil Murakami sangat menggemari dan menyukai karya sastra Barat, terutama musik dan karya sastranya. Ia tumbuh dengan banyak membaca karya besar dari Kurt Vonnegut dan Richard Bautigan dan ia juga sering kali membeda-bedakan (mengomparasi) antara penulis Jepang dengan penulis Barat yang ia gemari. Kesusasteraan Jepang banyak menaruh tekanan pada bahasa yang indah, dimana dengan gaya bahasa itu akan menghasilkan kekakuan, komposisi yang dibatasi, sedangkan gaya Murakami sendiri relatif bebas, cair dan mengalir.
Murakami kuliah di Universitas Waseda, Tokyo mengambil jurusan Teater di Fakultas Seni. Di mana ia juga bertemu wanita yang kini menjadi istrinya, Yoko. Ia pertama kali bekerja di toko musik seperti yang digambarkan pada tokoh dalam karakter utama dalam Norwegian Wood, Toru Watanabe. Sebelum Murakami menyelesaikan studinya ia membuka sebuah bar dengan nuansa jazz bernama “Petercat” di Kokubunji, Tokyo yang ia jalankan dari tahun 1974 sampai tahun 1982.
Banyak dari karyanya kental dengan unsur musikal dan judul lagunya juga banyak yang muncul sebagai judul tulisannya. Seperti Dance, dance, dance (Steve Miller Band), Norwegian Wood (The Beatles), South of the Border, West of the Sun (Nat King Cole) yang kemudian menjadi judul dalam karyanya.
Karya fiksi Murakami, yang sering dikritik sebagai karya sastra pop oleh penerbit Jepang, sangat surealis dicampur sedikit bumbu humor, dan pada saat yang bersamaan menggambarkan nilai esensial, pelenggangan, kesendirian dan cinta yang semu dimana karyanya itu berhasil menyentuh pembaca di Amerika dan Eropa, begitu juga dengan Asia. Pada dasarnya, gaya penulisan Murakami sering kali dikritisi karena karyanya melukiskan obsesi Negara Jepang yang kapitalis. Berdasarkan karyanya ia juga dapat menangkap jiwa generasi muda yang semu dan hampa. Ia juga bisa menggali efek negatif mentalitas orang-orang yang terlalu didominasi oleh pekerjaan. Karyanya mengeritik dan membahas penurunan nilai manusia dan hilangnya hubungan antara manusia dengan manusia dalam masyarakat kapitalis Jepang.
Analisis
Ciri Khas Tulisan Murakami Haruki
納屋を焼く (Burning Barn) merupakan salah satu judul cerita pendek dalam kumpulan cerita pendek Haruki Murakami berjudul 像を生滅 (The Elephant Vanishes) yang terbit tahun 1985. 納屋を焼く menceritakan tentang kehidupan僕 yang kemudian diisi oleh kehadiran彼女 sebagai teman dekatnya dan terasa lebih komplek lagi dengan hadirnya彼 sebagai pacarnya彼女. Plot cerita bertambah menarik karena彼 ini mempunyai sifat kedirian yang aneh dan cara berpikir yang tidak normal namun bisa dikatakan relevan dan bersifat realitas. Ia mempunyai pandangan tersendiri, suatu pandangan yang tidak bisa ditemukan pada orang biasa, pandangan yang digambarkan pengarang dengan penyimbolan terhadap sesuatu, metafora.
Murakami Haruki hadir dengan karyanya yang kental dan khas dengan unsur metafora, simbolis. Sehingga pembaca akan mereka-reka dan mencoba menginterpretasikan apa yang ingin disampaikan oleh penulis. Tentunya pembaca yang ingin tahu pemaknaannya ini akan membaca karyanya sampai habis karena pastinya pembaca takkan bisa memaknai apabila apa yang ingin dijelaskan penulis sebelum dibacanya sampai tuntas.
Metafora dalam納屋を焼く terdapat dalam kemunculan tokoh Great Gatsby, novel karangan Francis Scott Key Fitzgerald yang terbit pada tahun 1925. Cuplikan tersebut dapat dilihat pada halaman 58.
Maru de Gatsby da ne…
“ seperti Gatsby ya…”
僕 menyimbolkan彼 dengan tokoh Great Gatsby. Dalam novel tersebut Gatsby adalah orang kaya yang berselera tinggi dengan barang mewah dan segala pembawaan dirinya. 彼
yang digambarkan sebagai sosok yang berselera tinggi, mempunyai ciri khas, tingkah laku/pembawaan yang kelihatan berkelas, ditambah lagi dengan barang pribadi, cara berpakaian dan mobil sport yang menggambarkan bahwa ia seorang yang kaya raya dengah kehidupan glamour. Begitu pertama kali彼女 bercerita tentang彼, 僕 langsung membayangkan pencitraan diri彼 ke tokoh Gatsby ini.
Ciri khas lainnya terdapat pada gaya tulisan terjemahan yang dipengaruhi oleh sastra Barat. Hal ini disebabkan karena Murakami seringkali menerjemahkan karya sastra Barat ke dalam Bahasa Jepang. Contohnya dapat dilihat pada penggunaan dan penamaaan kataボイ・フレンド(Boyfriend) danガール・フレンド(Girlfriend) yang digunakan oleh Murakami dan kebanyakan masyarakat Jepang. Pemaknaannya berbeda dengan sebutan彼女 ataupun dengan hubungan yang lebih dekat恋人. Pemaknaan彼女berbeda artinya dengan girlfriend dengan pemaknaan Barat (benar-benar sangat berbeda).
Dalam makna Barat girlfriend diartikan sebagai pacar dengan artian wanita/laki-laki yang memiliki hubungan dekat secara langsung dan intim. Namun, dalam pemaknaan masyarakat Jepang, ガール・フレンドdisini sangat berbeda artinya yaitu diartikan sebagai teman yang memiliki hubungan dekat namun tidak dekat secara intim. Makna girlfriend dalam pemaknaan Barat lebih cocok dengan kata恋人 dalam Bahasa Jepang.
Dalam halaman 57 baris ke 5 terdapat percakapan antara僕 dan彼 yaitu:
「お会いできて嬉しかったです」と彼は僕に向かって申しわけなさそうに言った。
「こちらこそ」と僕も言った。
“senang sekali bertemu lagi dengan anda”, ucap Dia dengan nada yang kelihatan tulus ke arahku.
“sama sama”, sahutku.
Penggunaan こちらこそ oleh 僕 dipengaruhi oleh gaya sastra Barat yang selalu mengucapkan “you’re welcome” atau “terima kasih kembali” setelah lawan bicara mengucapkan terima kasih dengan rasa tulus. Dalam masyarakat Jepang pada umumnya bagi orang yang sudah merasa dekat atau kepada orang dekat dengan pengucapan seperti itu maka akan dirasakan kaku seperti serasa ada batas diantara keduanya. Biasanya kalau berhubungan dekat dengan menggunakan kata はい (ya) atau ああ、僕も (ya, saya juga).
Dalam novel ini juga banyak digunakan nama masakan yang dirasakan sangat mewah dan kebarat-baratan apabila diukur pada masa itu. Contohnya dapat dilihat pada halaman 60, nama beberapa makanan mewah yang muncul yaitu:
ロースト・ビープ・サンドウィッチ Roast Beef Sandwich
サラダ・スモーク・サーモン Smoke Salmon and Salad
ブルーベリー・アイスクリム Blueberry Ice Cream
良い白ワイン White Wine
( in good taste and good quality brand)
Dengan memunculkan nama makanan mewah pada novel ini dan jika dibandingkan pada masa itu terasa sekali ciri khas tulisan Murakami yang kemewahan dan ala Baratnya. Biasanya orang yang mengonsumsi makanan seperti itu berada pada golongan yang lebih tinggi dan condong kepada orang yang berada.
Dalam cerpen ini juga muncul judul lagu dan musisi era 70-an dan 80-an yang sangat khas ala Murakami. Seperti kemunculan Nat King Cole, Fred Astea, Bing Crosby, dan juga beberapa lagu instrumen seperti serenade alat musik gesek, Chekovsky.
Tema dalam Novel納屋を焼く(Burning Barn)
Ciri khas Murakami dalam karyanya yaitu mengetengahkan tema yang universal kepada khalayak pembaca yang menurutnya tidak terbatas. Dalam artian tema yang dihadirkan tidak hanya terpaku dan terdapat pada lingkup masyarakat Jepang saja tetapi tema yang banyak terjadi di seluruh Dunia pada umumnya. Sehingga karya yang dihasilkan bisa dinikmati bukan oleh segelintir orang tapi oleh seluruh orang. Ciri khas ini sama dengan ciri khas sastra Barat yang juga mengetengahkan tema bersifat universal dan umum.
Tema dalam novel ini yaitu tentang kehidupan keseharian manusia pada umumnya yang disertai kejadian dan permasalahan yang realitas. Dalam novel ini, yaitu kehidupan yang dijalani oleh僕 sebagai tokoh utama. Kehidupan ini kemudian diwarnai oleh kedatangan tokoh彼女 yang memberikan warna tersendiri. Setelah itu datang pula tokoh彼
(kekasih彼女) yang berkepribadian komplek yang membuat kehidupan僕 makin ramai oleh warna.
Makna Naya wo Yaku dalam novel「納屋を焼く」Murakami Haruki
Kata納屋terbentuk dari dua kanji yaitu kanji 納 (ナ、ノ、ト、おさめる) berarti memanen, memasok, menyimpan dan kanji 屋 (や) berarti tempat. Kata Yaku sendiri merupakan sebuah kata kerja yaitu membakar. Ditambah partikel を sebagai penunjuk objek. Secara keseluruhan, dapat diartikan sebagai (melakukan) membakar bangsal/gudang/lumbung. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) padanan kata gudang ini yaitu kata benda, rumah atau bangsal tempat menyimpan barang.
Namun menurut saya, 納屋disini bukan mengacu kepada gudang atau bangsal tempat penyimpanan pada umumnya. Gudang disini mengacu kepada tempat yang berada dalam diri manusia itu sendiri. Tentunya dalam diri manusia itu ada tempat yang dijadikan tempat untuk menyimpan kenangan masa lalu, pengalaman, tempat tersimpan rapi kejadian pahit manisnya kehidupan. Juga tempat yang membutuhkan pasokan akan cinta; kasih sayang, bahkan kesedihan.
Diibaratkan dengan sebuah gudang, hal ini mungkin disebabkan oleh sifat alami dari kata gudang tersebut yang kemudian dijadikan simbol oleh Murakami sebagai suatu tempat yang dijadikan untuk menyimpan dan memasok barang ataupun sesuatu. Barang disini diartikan sebagai “kejadian” yang telah dialami subjek itu sendiri.
焼く(yaku) sendiri merupakan kata kerja yang berarti membakar. Dalam konteks membakar disini bukan mengacu kepada kegiatan membakar secara normal tetapi menghapus, menghilangkan kejadian yang dirasakan menjadi pengganjal, membuat merasa tidak nyaman dan merasa risih.
Dalam novel dapat dilihat ketika tokoh utama 僕 bercakap-cakap dengan 彼 di dalam rumahnya bersama 彼女 yang sudah tertidur pulas. Ketika 僕 sedang teringat tentang festival kesenian dan pementasan ketika Sekolah Dasar dahulu, ketika ia pada waktu itu mendapat peran Penjual Sarung Tangan, peran yang Antagonis. Dalam cerita itu terdapat kejadian ketika datang seekor anak rubah yang mau membeli sarung tangan untuk ibunya, namun ditolak karena uang yang dibawa benar-benar tidak mencukupi. Padahal ironisnya, ibunya yang tengah kedinginan tengah sekarat dan sangat membutuhkan sarung tangan tersebut. Dengan ucapan dingin penjual sarung tangan menolak untuk memberikannya.
Terdapat dalam kutipan pada halaman 63 yaitu:
・・・
「でもお母さんがすごく寒かってるんです。あかぎれもできてるんです」と子狐は言う。
「いや、駄目だね。お金をためて出なおしておいで。そうすれば
「時々納屋を焼くんです」
と彼が言った。
Ketika 僕 sedang memikirkan perannya yang antagonis yang tak bisa ia lupakan. Peran yang 僕 perankan benar-benar membuat bekas yang tersimpan dan sulit dihilangkan dalam dirinya. Tepat ketika ia sampai pada puncak lamunannya 彼 mengucapkan satu kalimat yang sebenarnya kunci dalam pemaknaan metafora yang dibuat oleh Murakami. Kata itu sebenarnya jawaban untuk 僕 namun karena 僕 tidak sadar dan berada dalam dokodemonai basho ini ia tidak mendengar dengan jelas akan perkataan 彼.
Simpulan
Karya Murakami yang sarat dengan ciri khas dalam karyanya kali ini mengetengahkan tema yang lagi-lagi bisa dibilang sangat universal. Kisah yang menceritakan tentang kehidupan yang dijalani 僕 yang diwarnai oleh tokoh lain yang memberi warna sehingga plot cerita dirasakan alami seperti dalam kehidupan sehari-hari. Mengalir dan bebas seperti karya Murakami terdahulu.
Penggunaan judul lagu dan musisi era 70-an dan 80-an yang muncul dalam novel seperti ini juga muncul dalam karya Scott Key Fitzgerald dalam era “Jazz Age” yang mencirikan penggunaan musik dan musisi jazz sebagai pencitraan dan ciri khas terhadap karya yang disampaikan kepada pembaca.
Penggunaan unsur metafora juga digunakan dalam novel ini, terasa sangat menyatu dan melekat maknanya dengan plot dan tema yang dibentuk oleh penulis. Menurut saya, judul 納屋を焼く itu merupakan simbol yang diberikan dan ingin disampaikan kepada pembaca. Penyimbolan ini akan membuat para pembaca merasa penasaran akan makna dalam novel ini dan secara tidak langsung pembaca akan membaca secara habis apabila ingin memaknai apa yang ingin disampaikan. Namun, akhir novel yang dibuat menggantung ala Murakami ini membuat pembaca memikirkan dan menilai sendiri apa sebenarnya yang ingin diceritakan oleh penulis. Pembaca dipaksa untuk menelaah langsung apa sebenarnya yang ada dalam pikiran Murakami, sangat hebat.
Daftar Pustaka
Kamus Besar Bahasa Indonesia edisi ketiga cetakan kedua. 2002. Balai Pustaka : Jakarta.
http://en.wikipedia.org/wiki/Haruki_murakami
http://en.wikipedia.org/wiki/F.Scott_fitzgerald
Teks Handout 納屋を焼(Naya wo Yaku : Burning Barn) dalam kumpulan cerpen Murakami Haruki berjudul 像を生滅 (Zoo wo Shometsu ; The Elephant Vanishes).
kaidan : nukekubi
Kaidan
Kaidan yang berasal dari Bahasa Jepang terbagi menjadi dua kanji dasar yaitu kanji ++ : kai yang berarti aneh, misterius, jarang dan kanji pembentuk kedua ++ : dan yang berarti bicara atau bisa juga penceritaan naratif. Secara harfiah apabila digabungkan menjadi pembicaraan / penceritaan mengenai sesuatu yang aneh bahkan misterius. Dalam dunia perfilman kaidan mengacu pada cerita horor dan hantu. Pemaknaan ini mengacu kepada konotasi cerita horor rakyat yang dibawa dari Zaman Edo.
Kata kaidan akhir-akhir ini tidak lagi digunakan pada film bergenre horor Jepang zaman modern. Tetapi malah disebut dengan sebutan horaa (++) yang diambil dari kata horor dalam Bahasa Inggris. Ada juga yang menyebut dengan sebutan kowai hanashi (++) yang berarti cerita seram. Kata kaidan ini hanya muncul pada film horor dengan latar belakang klasik (lebih pas dengan kata old-fashioned menurut saya) yang ingin digambarkan oleh direktor maupun penulis.
Alur Cerita / Plot
Alur cerita dalam kaidan biasanya berdasarkan cerita yang berkaitan dengan agama Budha. Kaidan seringkali muncul sebagai bagian dari karma atau kutukan yang menimpa dirinya sehingga menimbulkan pembalasan dendam yang dilakukan oleh hantu / roh tersebut, bahkan bisa juga hantu / roh yang tidak puas akan kejadian yang menimpa dirinya. Di Jepang hantu yang ingin membalas dendam ini mempunyai kekuatan yang lebih hebat setelah mati dibandingkan dengan sosoknya yang masih dalam keadaan bernyawa.
Hantu ini seringkali muncul dari manusia yang pada masa hidupnya merasa tertindas dan lemah seperti kaum wanita dan budak yang teraniaya. Keinginan balas dendam ini biasanya ditujukan kepada orang yang dulunya menganiaya dan menyakiti hantu / sosok yang merasa tidak puas. Tetapi kadang-kadang hantu / sosok yang merasa tidak puas ini bisa juga pembalasan dendamnya tidak ditujukan ke satu target bahkan ke seluruh manusia yang muncul dari rasa bencinya terhadap tipikal perbuatan manusia pada umumnya (nah!).
Contohnya dapat dilihat dalam salah satu judul dalam buku kisah-kisah kaidan yang diluncurkan oleh Lafcadio Hearn yang berjudul Furisode. Cerita ini mengisahkan tentang kimono yang terkena kutukan dan tentunya bagi siapapun yang memakainya akan meninggal ketika memakainya. Kutukan ini tidak ditujukan bagi satu orang tapi bagi siapapun yang memakainya.
Cerita kaidan itu biasanya diawali oleh kemunculan hantu / roh melalui air sebagai medianya. Dalam kepercayaan masyarakat Jepang, air merupakan suatu jalan yang menghubungkan antara dunia roh dan dunia nyata. Contohnya dapat dilihat dalam festival obon pada Bulan Agustus yang mengantar kepergian roh leluhur melalui air (sungai) sebagai medianya.
Hyakumonogatari Kaidankai dan Kaidanshu
Kata kaidan muncul sejak Zaman Edo ketika permainan yang dinamakan Hyakumonogatari Kaidankai menjadi popular. Permainan mengumpulkan cerita rakyat dan cerita hantu dari seluruh Jepang dan Cina ini menjadi peranan yang sangat penting dan disukai.
Popularitas mengumpulkan cerita-cerita ini menjadi sebaik keputusan oleh usaha penerbitan dan pencetakan dari Korea pada tahun 1593, yang mendasari terbentuknya suatu kumpulan buku kaidan yang disebut kaidanshu.
Nukekubi
Adalah makhluk yang ditemukan dalam cerita rakyat di Jepang. Pada siang hari ketika manusia melakukan aktivitas seperti biasanya, nukekubi muncul seperti layaknya manusia biasa. Tetapi ketika malam hari tiba, bagian kepalanya perlahan-lahan bergerak dan terlepas dari tubuhnya. Lebih dari itu kepala yang terputus ini mempunyai kekuatan terbang ke mana saja. Kepala putus ini terbang mencari mangsa yaitu manusia yang sedang berdoa.
Ketika ia menemukan mangsanya ia akan mendekat dan muncul dalam jarak pandang manusia. Ketika mangsanya itu melihat ia akan berteriak (lebih cocok dibilang screaming sepertinya, karena tidak ada padanan antara berteriak atau mengeluarkan suara kaget plus ketakutan setengah mati) yang menimbulkan tingkat ketakutannya melampaui batas normal. Kemudian ia mendekat dan langsung menggigit korbannya secara cepat sehingga sang korban akan mati ketakutan ditambah gigitan yang mematikan (wihh!!!).
Namun makhluk ini mempunyai kelemahan seperti juga halnya makhluk yang muncul dalam legenda dan cerita rakyat lainnya. Kelemahannya yaitu ketika kepalanya melayang entah kemana bagian tubuh yang ditinggalkannya itu tidak mempunyai kekuatan sama sekali, sama sekali. Bisa diibaratkan sebagai benda yang berwujud tubuh manusia lengkap dengan organ tubuh lainnya yang terbalut warna kulit hidup, pucat keputih-putihan namun tanpa kepala. Satu-satunya cara adalah dengan memindahkan tubuh keputih-putihan tanpa kepala tersebut dari lokasi / tempat terpisahnya tubuh dengan kepala terputus sang makhluk itu. (he’eh makasih deh…baru ngeliat tubuh tanpa kepala aja sudah ketakutan setengah mati, apalagi disuruh mindahin mayatnya. Iya kalo itu kepala ”maennya” lama nah kalo langsung pulang terus ngeliat saya mindahin badannya dia bisa-bisa saya yang jadi mayat…XD).
Jika sang makhluk tidak dapat dapat menemukan lokasi disembunyikan tubuhnya hingga matahari terbit maka kekuatannya akan hilang dan makhluk itu pun musnah. Ada juga cara lainnya yaitu dengan menghancurkan tubuh makhluk itu hingga tidak tersisa sama sekali. Sehingga kepala itu bagaikan tubuh tanpa tulang punggung, lemah dan tak tertopang.
Dalam kehidupan sehari-hari Nukekubi mencoba berbaur dengan kehidupan masyarakat. Mereka kadang-kadang tinggal bersama kelompoknya seperti layaknya sebuah keluarga biasa. Satu-satunya cara mengidentifikasi makhluk ini yaitu dengan cara melihat lehernya yang terdapat tanda garis merah mendatar mengelilingi lehernya. Bukan seperti luka namun benar-benar seperti garis merah yang membujur di lehernya. Tapi kadang-kadang tanda kecil ini disamarkan dengan menggunakan kalung dan perhiasan lainnya.
Simpulan
Makhluk yang digambarkan di atas seperti ini juga muncul dalam cerita rakyat di Indonesia. Bahkan ciri-ciri fisikal, kekuatan, dan kelemahan yang dimiliki juga sama persis. Di Indonesia makhluk seperti itu dinamakan palasik yang muncul di wilayah Sumatera (tepatnya saya tidak tahu). Kehidupannya juga sama seperti yang digambarkan.
Dalam kisah ini saya menemukan keistimewaan yang memiliki ciri-ciri sama antara nukekubi yang ada di Jepang dan palasik Indonesia. Entah kenapa makhluk yang digambarkan ini mempunyai banyak kemiripan tetapi terpisah dalam jarak yang jauh. Dalam pendapat saya, cerita ini muncul mungkin karena pada zaman dahulu ketika manusia yang satu dengan yang lain terjadi pertikaian yang menyebabkan seseorang terbunuh dengan kepala terpenggal. Oleh karena itu cerita ini dihadirkan karena terdapat kepercayaan manusia yang telah meninggal itu rohnya akan bergentayangan (bisa juga kata roh ini diganti dengan makhluk, tergantung siapa yang menciptakan cerita itu) dan akan menuntut balas dendam atas kematiannya.
Di Jepang, dahulu terdapat aturan bahwa di dalam peperangan apabila lawan perangnya telah kalah dan mati maka harus membawa kepala untuk diserahkan kepada pemimpin sebagai buktinya. Begitu juga yang terjadi di masyarakat mungkin saja ketika sesorang melakukan pembunuhan maka sang pembunuh akan memenggal kepala korban agar identitas korban tidak diketahui.
Di Indonesia (lagi-lagi) mungkin saja ketika zaman penjajahan dahulu ketika kedua belah yang bertikai juga pernah memotong kepala atau juga terjadi pembunuhan sehingga kisah manusia yang meninggal tanpa kepala ini merebak ke rakyat dan menjadi kisah rakyat.
Tentunya terdapat persamaan pemikiran antara rakyat Jepang dan rakyat Indonesia (dan kebanyakan bangsa di Asia) yaitu pembalasan dendam yang dilakukan oleh roh orang yang telah meninggal baik itu secara wajar maupun tak wajar karena merasa tidak terima dan ketidak mampuan mereka ketika masih hidup seperti golongan wanita dan budak itu ada dan pada akhirnya rakyat membuat cerita itu dan menghadirkannya ke masyarakat. Dan pada dasarnya mereka juga percaya bahwa manusia itu mempunyai roh dan ia akan terlepas ketika manusia sudah tak lagi bernyawa.
Kaidan yang berasal dari Bahasa Jepang terbagi menjadi dua kanji dasar yaitu kanji ++ : kai yang berarti aneh, misterius, jarang dan kanji pembentuk kedua ++ : dan yang berarti bicara atau bisa juga penceritaan naratif. Secara harfiah apabila digabungkan menjadi pembicaraan / penceritaan mengenai sesuatu yang aneh bahkan misterius. Dalam dunia perfilman kaidan mengacu pada cerita horor dan hantu. Pemaknaan ini mengacu kepada konotasi cerita horor rakyat yang dibawa dari Zaman Edo.
Kata kaidan akhir-akhir ini tidak lagi digunakan pada film bergenre horor Jepang zaman modern. Tetapi malah disebut dengan sebutan horaa (++) yang diambil dari kata horor dalam Bahasa Inggris. Ada juga yang menyebut dengan sebutan kowai hanashi (++) yang berarti cerita seram. Kata kaidan ini hanya muncul pada film horor dengan latar belakang klasik (lebih pas dengan kata old-fashioned menurut saya) yang ingin digambarkan oleh direktor maupun penulis.
Alur Cerita / Plot
Alur cerita dalam kaidan biasanya berdasarkan cerita yang berkaitan dengan agama Budha. Kaidan seringkali muncul sebagai bagian dari karma atau kutukan yang menimpa dirinya sehingga menimbulkan pembalasan dendam yang dilakukan oleh hantu / roh tersebut, bahkan bisa juga hantu / roh yang tidak puas akan kejadian yang menimpa dirinya. Di Jepang hantu yang ingin membalas dendam ini mempunyai kekuatan yang lebih hebat setelah mati dibandingkan dengan sosoknya yang masih dalam keadaan bernyawa.
Hantu ini seringkali muncul dari manusia yang pada masa hidupnya merasa tertindas dan lemah seperti kaum wanita dan budak yang teraniaya. Keinginan balas dendam ini biasanya ditujukan kepada orang yang dulunya menganiaya dan menyakiti hantu / sosok yang merasa tidak puas. Tetapi kadang-kadang hantu / sosok yang merasa tidak puas ini bisa juga pembalasan dendamnya tidak ditujukan ke satu target bahkan ke seluruh manusia yang muncul dari rasa bencinya terhadap tipikal perbuatan manusia pada umumnya (nah!).
Contohnya dapat dilihat dalam salah satu judul dalam buku kisah-kisah kaidan yang diluncurkan oleh Lafcadio Hearn yang berjudul Furisode. Cerita ini mengisahkan tentang kimono yang terkena kutukan dan tentunya bagi siapapun yang memakainya akan meninggal ketika memakainya. Kutukan ini tidak ditujukan bagi satu orang tapi bagi siapapun yang memakainya.
Cerita kaidan itu biasanya diawali oleh kemunculan hantu / roh melalui air sebagai medianya. Dalam kepercayaan masyarakat Jepang, air merupakan suatu jalan yang menghubungkan antara dunia roh dan dunia nyata. Contohnya dapat dilihat dalam festival obon pada Bulan Agustus yang mengantar kepergian roh leluhur melalui air (sungai) sebagai medianya.
Hyakumonogatari Kaidankai dan Kaidanshu
Kata kaidan muncul sejak Zaman Edo ketika permainan yang dinamakan Hyakumonogatari Kaidankai menjadi popular. Permainan mengumpulkan cerita rakyat dan cerita hantu dari seluruh Jepang dan Cina ini menjadi peranan yang sangat penting dan disukai.
Popularitas mengumpulkan cerita-cerita ini menjadi sebaik keputusan oleh usaha penerbitan dan pencetakan dari Korea pada tahun 1593, yang mendasari terbentuknya suatu kumpulan buku kaidan yang disebut kaidanshu.
Nukekubi
Adalah makhluk yang ditemukan dalam cerita rakyat di Jepang. Pada siang hari ketika manusia melakukan aktivitas seperti biasanya, nukekubi muncul seperti layaknya manusia biasa. Tetapi ketika malam hari tiba, bagian kepalanya perlahan-lahan bergerak dan terlepas dari tubuhnya. Lebih dari itu kepala yang terputus ini mempunyai kekuatan terbang ke mana saja. Kepala putus ini terbang mencari mangsa yaitu manusia yang sedang berdoa.
Ketika ia menemukan mangsanya ia akan mendekat dan muncul dalam jarak pandang manusia. Ketika mangsanya itu melihat ia akan berteriak (lebih cocok dibilang screaming sepertinya, karena tidak ada padanan antara berteriak atau mengeluarkan suara kaget plus ketakutan setengah mati) yang menimbulkan tingkat ketakutannya melampaui batas normal. Kemudian ia mendekat dan langsung menggigit korbannya secara cepat sehingga sang korban akan mati ketakutan ditambah gigitan yang mematikan (wihh!!!).
Namun makhluk ini mempunyai kelemahan seperti juga halnya makhluk yang muncul dalam legenda dan cerita rakyat lainnya. Kelemahannya yaitu ketika kepalanya melayang entah kemana bagian tubuh yang ditinggalkannya itu tidak mempunyai kekuatan sama sekali, sama sekali. Bisa diibaratkan sebagai benda yang berwujud tubuh manusia lengkap dengan organ tubuh lainnya yang terbalut warna kulit hidup, pucat keputih-putihan namun tanpa kepala. Satu-satunya cara adalah dengan memindahkan tubuh keputih-putihan tanpa kepala tersebut dari lokasi / tempat terpisahnya tubuh dengan kepala terputus sang makhluk itu. (he’eh makasih deh…baru ngeliat tubuh tanpa kepala aja sudah ketakutan setengah mati, apalagi disuruh mindahin mayatnya. Iya kalo itu kepala ”maennya” lama nah kalo langsung pulang terus ngeliat saya mindahin badannya dia bisa-bisa saya yang jadi mayat…XD).
Jika sang makhluk tidak dapat dapat menemukan lokasi disembunyikan tubuhnya hingga matahari terbit maka kekuatannya akan hilang dan makhluk itu pun musnah. Ada juga cara lainnya yaitu dengan menghancurkan tubuh makhluk itu hingga tidak tersisa sama sekali. Sehingga kepala itu bagaikan tubuh tanpa tulang punggung, lemah dan tak tertopang.
Dalam kehidupan sehari-hari Nukekubi mencoba berbaur dengan kehidupan masyarakat. Mereka kadang-kadang tinggal bersama kelompoknya seperti layaknya sebuah keluarga biasa. Satu-satunya cara mengidentifikasi makhluk ini yaitu dengan cara melihat lehernya yang terdapat tanda garis merah mendatar mengelilingi lehernya. Bukan seperti luka namun benar-benar seperti garis merah yang membujur di lehernya. Tapi kadang-kadang tanda kecil ini disamarkan dengan menggunakan kalung dan perhiasan lainnya.
Simpulan
Makhluk yang digambarkan di atas seperti ini juga muncul dalam cerita rakyat di Indonesia. Bahkan ciri-ciri fisikal, kekuatan, dan kelemahan yang dimiliki juga sama persis. Di Indonesia makhluk seperti itu dinamakan palasik yang muncul di wilayah Sumatera (tepatnya saya tidak tahu). Kehidupannya juga sama seperti yang digambarkan.
Dalam kisah ini saya menemukan keistimewaan yang memiliki ciri-ciri sama antara nukekubi yang ada di Jepang dan palasik Indonesia. Entah kenapa makhluk yang digambarkan ini mempunyai banyak kemiripan tetapi terpisah dalam jarak yang jauh. Dalam pendapat saya, cerita ini muncul mungkin karena pada zaman dahulu ketika manusia yang satu dengan yang lain terjadi pertikaian yang menyebabkan seseorang terbunuh dengan kepala terpenggal. Oleh karena itu cerita ini dihadirkan karena terdapat kepercayaan manusia yang telah meninggal itu rohnya akan bergentayangan (bisa juga kata roh ini diganti dengan makhluk, tergantung siapa yang menciptakan cerita itu) dan akan menuntut balas dendam atas kematiannya.
Di Jepang, dahulu terdapat aturan bahwa di dalam peperangan apabila lawan perangnya telah kalah dan mati maka harus membawa kepala untuk diserahkan kepada pemimpin sebagai buktinya. Begitu juga yang terjadi di masyarakat mungkin saja ketika sesorang melakukan pembunuhan maka sang pembunuh akan memenggal kepala korban agar identitas korban tidak diketahui.
Di Indonesia (lagi-lagi) mungkin saja ketika zaman penjajahan dahulu ketika kedua belah yang bertikai juga pernah memotong kepala atau juga terjadi pembunuhan sehingga kisah manusia yang meninggal tanpa kepala ini merebak ke rakyat dan menjadi kisah rakyat.
Tentunya terdapat persamaan pemikiran antara rakyat Jepang dan rakyat Indonesia (dan kebanyakan bangsa di Asia) yaitu pembalasan dendam yang dilakukan oleh roh orang yang telah meninggal baik itu secara wajar maupun tak wajar karena merasa tidak terima dan ketidak mampuan mereka ketika masih hidup seperti golongan wanita dan budak itu ada dan pada akhirnya rakyat membuat cerita itu dan menghadirkannya ke masyarakat. Dan pada dasarnya mereka juga percaya bahwa manusia itu mempunyai roh dan ia akan terlepas ketika manusia sudah tak lagi bernyawa.
Langganan:
Postingan (Atom)